Oleh: Abi Sabila
Seringnya pemberitaan di televisi mengenai kasus penembakan oleh dan
terhadap warga sipil yang terjadi belakangan ini, menarik perhatian
rekan-rekan kerjaku untuk menjadikannya sebagai bahan obrolan di
sela-sela rutinitas pekerjaan. Meski terkadang asal-asalan dan bahkan
sok tahu, tapi ada juga beberapa dari obrolan mereka yang menggugah
kesadaranku.
“Membekali diri dengan senjata jelas perlu dan bahkan
penting sekali. Ke mana-mana aku selalu membawanya,” ucap salah satu
rekan yang mejanya berseberangan denganku. Ia tetap santai walau semua
tatapan kini tertuju kepadanya.
“Kamu ke mana-mana membawa
senjata? Termasuk kerja juga?” tanya rekan yang mejanya bersebelahan
denganku. Pertanyaannya mewakili keterkejutan kami semua.
Yang
ditanya mengangguk. “Dulu, sebelum merantau, bapakku berpesan agar ke
manapun aku pergi, apapun yang ingin kukerjakan, jangan lupa membawanya
serta,” lanjutnya, membuat seisi ruangan makin penasaran.
“Serius?” tanya dua rekan kerjaku berbarengan.
Untuk kedua kalinya rekan kerja di depanku mengangguk. Santai.
“Senjata
apa yang kamu punya? Keris, belati atau jangan-jangan senjata api? Dari
mana kamu mendapatkannya? Boleh kami melihatnya?” cecar seorang rekan
lainnya.
“Sebagian aku dapatkan dari bapak, sebagian lagi dari guru ngajiku.”
Wajah-wajah penasaran makin jelas terlihat. “Bentuknya apa? Bolehkah kami melihatnya?”
“Tidak bisa dilihat, tapi kalian bisa mendengar dan merasakannya.”
Semua
jawaban dan juga sikap tenang yang ia tunjukkan semakin membuat
rekan-rekan lainnya penasaran. Walau aku juga penasaran, tapi aku mulai
merasa curiga. Secara pribadi aku kenal cukup dekat rekan kerjaku yang
satu ini. Belum pernah sekalipun aku melihat ia membawa senjata. Itu
bukan kebiasaannya. Dan berbual juga bukan hobinya. Senjata yang ia
maksudkan pastilah tidak seperti yang kami duga. Kamilah yang salah
mengartikan kata-katanya. Dan tebakanku terbukti benar setelah sambil
terkekeh ia menjelaskan senjata yang ia maksudkan.
“Senjata yang
aku punya dan selalu kubawa ke mana-mana tak akan bisa kalian lihat,
tapi dapat kalian dengar dan rasakan. Senjataku bukan berbentuk keris,
belati ataupun pistol seperti yang kini ramai diberitakan di televisi.
Bapak dan guru ngajiku tak mungkin membekaliku dengan yang seperti itu.
Tapi aku yakin, senjataku tak kalah ampuh atau bahkan lebih ampuh dari
itu semua.”
Ia berhenti sejenak, seolah menikmati ketegangan yang terpancar dari raut wajah kami.
“Sebenarnya
kalian juga punya, tapi mungkin kalian tak menyadari atau jarang
menggunakannya. Senjata yang kumaksudkan adalah doa.”
Kompak rekan-rekan kerjaku ber – yah…. kecewa.
“Lho,
benar kan? Kita memang tidak bisa melihat bentuknya tapi bisa mendengar
saat dibaca dan juga merasakan efek positif setelah membacanya. Doa
adalah senjata bagi orang yang beriman.”
Semua terdiam,
membenarkan apa yang ia katakan. Selama ini kita beranggapan bahwa
berbekal senjata tajam adalah cara yang tepat untuk berjaga-jaga dan
melindungi diri. Padahal kita mempunyai satu senjata yang jauh lebih
ampuh dan juga jauh lebih bisa diandalkan, yaitu doa.
Tak perlu
pisau, golok, belati, senjata api ataupun lainnya untuk melindungi diri.
Berdoalah sebelum, selama dan sesudah beraktivitas, mohon bimbingan,
bantuan dan perlindungan pada Allah agar dimudahkan setiap perkara,
dilancarkan setiap urusan dan dikabulkan apa yang kita upayakan.
Sesungguhnya, tak ada satu pun senjata yang dapat melukai tubuh kita
kecuali Allah yang mengizinkan.
0 komentar:
Posting Komentar